Oleh:
Abidin
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab dan mengatasi terjadinya masalah konflik yang mengarah pada
diskriminasi dan disintegrasi di Indonesia. Penyebab terjadinya komflit adalah
masalah ekonomi dan rasa ketidak adilan kemiskinan dan sebaganya. Namun untuk mengatasi
hal tersebut kita tidak bisa mengandalkan satu platform dalam menyelesaikan
semua konflik. Sebab negara Indonesia yang berlatar belakang multikulturalisme
dan bermacam–macam agama, adat istiadat, serta lebih dari 700 bahasa ini sangat
rawan terjadinya konflik dan
disintegrasi. Oleh
kerena itu maka, pendidikan multikulturalisme sangat penting diterapkan guna
meminimalisir dan mencegah terjadinya konflik diberbagai daerah Indonesia.
Melalui pendidikan berbasis kultural, diharapkan sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan
menghargai keberagaman.
Multikulturalisme lebih menuju pada upaya untuk menciptakan, menjamin dan
mendorong pembentukan ruang publik yang
memungkinkan beragam komunitas
bisa tumbuh dan berkembang yang sesuai dengan kemampuan mereka. Sedangkan konsep
perspektif masyarakat yang majemuk, multikulturalisme sangat
menjunjung perbedaan bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang secara
dinamis. Lebih dari sekadar memelihara dan mengambil manfaat dari perbedaan,
perspektif multikulturalisme memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang
universal. Bentuk-bentuk
kreativitas lain yang diperlukan
adalah mengintensifkan dialog. Kebijakan
multikultural biasanya
mengusik
kemapanan kelompok mayoritas yang sudah menikmati privilese
sebagai kelompok
dominan.
Kata
Kunci: Diskriminasi, Disintegrasi,
Perspektif Pendidikan Multikultural
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai
etnis, bahasa, dan budaya merupakan suatu kekuatan yang dapat membangun bangsa
ini, karena setiap etnis mempunyai kekuatan masing-masing di setiap daerahnya.
Namun dibalik itu kemungkinan konflik yang mengarah kepada diskriminasi dan disintegrasi juga
rawan terjadi di berbagai daerah. Menurut Yusuf Kalla http://umum.
kompasiana. com/2009/06/01/konflik-di-indonesia - penyebab dan-penyelesaiannya/
(diakses tgl
10-04-2012) bahwa kemungkinan penyebab konflik di
Indonesia pada umumnya berakar pada masalah ekonomi dan politik. Begitu pula
konflik yang terjadi di dunia adalah 75 % dipicu oleh masalah ketidak adilan, ekonomi,
kemiskinan, dan sebagainya.
Misalnya
di Aceh, ketika para tokoh GAM yang berulang kali memberontak karena merasa
tidak diperhatikan padahal kekayaan alam Aceh yang berlimpah ruah dikeruk oleh
pemerintah pusat. Mereka mengacu pada kenyataan bahwa tanah Aceh memiliki
cadangan minyak dan gas alam yang melimpah ruah, namun masih banyak rakyat Aceh
yang hidup miskin. Demikian juga Konflik yang terjadi Ambon, juga berasal dari
persoalan ekonomi. Bahkan ada anggapan yang mengatakan bahwa konflik Ambon itu
diakibatkan oleh gerakan separatis yang kerap digembar-gemborkan oleh para aktivis
Republik Maluku Selatan (RMS). Namun
pada dasarnya konflik Ambon diawali oleh jatuhnya harga cengkeh dari Rp 10 ribu
menjadi Rp. 2 ribu setiap kilogram. Para petani cengkeh yang kebetulan
kebanyakan menganut
agama nasrani, menjadi sangat tertekan secara ekonomi dan psikologis.
Sebaliknya para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang umumnya
beragama muslim, justru makin makmur. Ini karena mereka menguasai bisnis
angkutan kota dan perdagangan antar pulau.
Begitu pula konflik berdarah di Poso
yang hanya disebabkan oleh politik, yang terkait dengan pemilihan Bupati di
Poso. Tanpa latar belakang masalah ini, maka tidak mungkin hanya karena masalah
sepele yakni perkelahian antara dua pemuda yang berbeda agama bisa meledak
menjadi kerusuhan yang sangat dahsyat. Tetapi
konflik yang terjadi di Kotamadya Palopo Sulawesi Selatan akhir tahun 2008 antara
dua desa yang saling serang menyerang dengan menggunakan senjata tajam sehingga
menyebabkan jatuhnya korban. Konflik tersebut menurut berbagai tokoh masyarakat yang ada di daerah
itu mengatakan bahwa penyebabnya adalah sara.
Untuk itu dapat
dikemukakan bahwa dalam mengatasi masalah konflik yang mengarah pada
diskriminasi dan disintegrasi di Indonesia kita tidak bisa mengandalkan satu platform
untuk menyelesaikan semua konflik. Sebab negara Indonesia yang berlatar
belakang multikulturalisme dan bermacam–macam agama, adat istiadat serta lebih
dari 700 bahasa ini sangat rawan terjadinya konflik dan disintegrasi.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka hal-hal yang menjadi fokus kajian pada tulisan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Pengertian multikulturalisme
2.
Multikulturalisme di Indonesia
3.
Pengembangan pendidikan multikultral
dalam KTSP
B.
Pembahasan
Salah
satu isu penting yang mengiringi gelombang demokratisasi dan rawannya konfilk
yaitu munculnya wacana multikulturalisme. Sebab multikulturalisme memberi
penegasan seseorang atau kelompok bahwa dengan segala perbedaannya
diakui dan sama di dalam ruang
publik. Haryatmoko. ( 2007 : 1) mengemukakan bahwa multikulturalisme
adalah pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk
mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya
kelompok-kelompok minoritas agar
kekhasan identitas mereka diakui. Multikulturalisme
terumus dalam bentuk sejumlah prinsip, kebijakan dan praksis untuk
mengakomodasi keberagaman dan sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan
dari suatu masyarakat. Jadi, arah multikulturalisme lebih menuju pada upaya untuk menciptakan, menjamin dan
mendorong pembentukan ruang publik yang
memungkinkan beragam komunitas
bisa tumbuh dan berkembang yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang
tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi diakses tgl 30-04-2012). Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat, ini disebabkan
karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan.
1. Pengertian Multikulturalisme
Ada beberapa
istilah yang secara
konseptual tampak mirip dengan terminologi
multikulturalisme namun sebenarnya berbeda, misalnya pluralisme, diversitas,
heterogenitas, atau yang sering pula
disebut dengan istilah “masyarakat majemuk”.
Masyarakat majemuk lebih menekankan soal etnisitas atau suku, yang pada
gilirannya membangkitkan gerakan
etnosentrisme yang sifatnya sangat askriptif dan primordial. Bahaya chauvenisme
sangat potensial tumbuh dan berkembang dalam masyarakat model ini. Karena
wataknya yang sangat mengagungkan ciri streotif kesukuan, maka anggota
masyarakat ini memandang kelompok lain
dengan cara pandang
mereka yang rasial
dan primordial. Parsudi Suparlan http://www.
interseksi. org/publications /essays/articles /masyarakat_ majemuk .html
(diakses tgl 28-04- 2012). mengemukakan multikulturalisme
adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah
para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan
terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa, gender,
dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling
mendukung dengan proses-proses demokratisasi.
Sedangkan konsep perspektif masyarakat yang majemuk, multikulturalisme sangat
menjunjung perbedaan bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang secara
dinamis. Lebih dari sekadar memelihara dan mengambil manfaat dari perbedaan,
perspektif multikulturalisme memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang
universal. Bagi masyarakat
multikultural perbedaan merupakan
sebuah kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial
manusia dengan dialog
dan komunikasi.
Karakter
masyarakat multikultural yaitu toleran dan hidup dalam semangat peaceful
co-existence serta
berdampingan secara damai.
Setiap entitas sosial dan
budaya masih membawa
jati dirinya, tidak
terlebur kemudian hilang,
namun juga tidak diperlihatkan sebagai
kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lain. Dalam perspektif
multikulturalisme, baik individu maupun kelompok dari berbagai etnik dan budaya
hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan
kultur mereka. Sekalipun mereka hidup bersatu dalam ranah sosial tetapi
antar-entitas tetap ada jarak. Prinsip “aku dapat bersatu dengan engkau, tetapi
antara kita berdua tetap
ada jarak”. “Aku hanya bisa
menjadi aku dalam arti sepenuhnya dengan menjadi satu dengan engkau, namun
tetap saja antara aku dan engkau ada jarak”. Untuk menjaga jarak sosial
tersebut tetap kondusif diperlukan jalinan komunikasi, dialog dan toleransi
yang kreatif.
2.
Multikulturalisme di Indonesia
Dalam
konteks Indonesia, mengapa multikulturalisme menjadi penting. Hal ini
disebabkan oleh penindasan atau
penafikan atas dasar
kepemilikan etnis, agama atau
bentuk minoritas lainnya.
Dikotomi antar “kita” dan “mereka” dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari posisi
kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini terjadi di wilayah-wilayah penting
dalam kehidupan seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan-jabatan publik, dan
hubungan-hubungan sosial lain. Istilah minoritas sengaja dipakai secara sistematis
untuk memojokkan ke posisi marginal atau memberi label tidak bernilai
penting dalam hubungan dengan kekuatan politik yang dominan. Diskriminasi
terhadap kaum imigran semakin membuat mereka terpinggirkan dari pengambilan
keputusan. Oleh karena itu semangat multikultural mau menjawab kebutuhan dasar
kelompok-kelompok minoritas untuk mengembangkan
identitas budaya dan penghargaan
diri.
Multikulturalisme
sebagai budaya baru merupakan acuan dalam praktik kewarganegaraan yang
kritis, perjuangan untuk
demokrasi dan kepedulian pada kesejahteraan umum.
Dalam konteks tersebut, tujuan multukulturalisme sebagai
partisipasi aktif sebagai warganegara. Multikulturalisme memperjuangkan agar
setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama dan atas dasar kemampuan masing-masing ikut serta
mengarahkan masa depan masyarakat mereka. Terkait dengan identitas
multukulturalisme mendorong masyarakat mengakui dan menerima keberagaman budaya
sehingga berkembang rasa memiliki dan komitmen kepada masyarakatnya. Dengan
kebijakan multikultural akan dibangun masyarakat yang menjamin perlakuan adil dan hormat akan martabat setiap orang
dari manapun asalnya.
Multikulturalisme tidak
hanya menentang penyeragaman dan mendorong penerimaan perbedaan, namun ada
implikasi sosial-politik. Pemahaman akan kesatuan di dalam perbedaan mempunyai
implikasi terbentuknya sistem baru representasi, partisipasi dan
kewarganegaraan sehingga ada suatu forum untuk menciptakan kesatuan tanpa
mengingkari kekhasan dan keberagaman. Multikulturalisme mengandaikan
adanya perjumpaan budaya dan identitas
yang berbeda. Implikasinya, multikulturalisme menjadi jembatan, tempat
negosiasi, peleburan cakrawala pemikiran dan dialog. Multikulturalisme mau
mengkritisi dan mengingatkan bahwa institusi-institusi bisa menghasilkan
rasisme dan bentuk-bentuk diskriminasi.
Di
Indonesia, kebijakan multikultural yang mendesak adalah menyangkut agama.
Penerimaan keberagaman agama perlu menjadi prioritas di dalam program
multikulturalme. Kekerasan dan rendahnya toleransi sangat mewarnai sejarah
hubungan agama-agama. Sejarah seperti itu meredupkan wajah agama yang
menyuratkan kedamaian, kedalaman hidup,
solidaritas, cinta dan harapan
teguh. Masalah pokok ialah bagaimana seseorang
penganut satu agama menerima dan menghormati agama lain dan sekaligus
memegang teguh otoritas
kebenaran agamanya sendiri.
Upaya
membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila: (1) konsep multikulturalisme menyebar
luas dan dipahami oleh masyarakat
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional untuk
mengadopsi dan menjadikan sebagai pedoman; (2) kesamaan pemahaman di antara
masyarakat mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep yang mendukungnya
(Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat,
2008:
35) .
jika dilihat dari hubungan antara Pancasila dan
multikulturalisme terdapat lima hal penting, yaitu: (1) multikulturalisme
adalah pandangan kebudayaan yang berorientasi praktis, yakni menekankan
perwujudan ide menjadi tindakan. Ciri inilah yang memberikan kata sambung
dengan Pancasila yang seyogyanya dipandang sebagai cita-cita. Multikulturalisme
menghendaki proses belajar mengenai perbedaan kebudayaan yang dimulai dari
sikap dan interaksi antar kebudayaan; (2) multikulturalisme harus menjadi grand
strategy ke masa depan, khususnya dalam pendidikan nasional yang menekankan
learning by doing or practicing dan tidak lagi semata-mata kognitif.
Untuk itu dibutuhkan pemikiran yang komprehensif, konsisten, dan
berjangka panjang yang melibatkan semua pihak; (3) dengan memposisikan
multikulturalisme sebagai perwujudan Pancasila, maka kebudayaan tidak
lagi dijadikan sampiran atau embel-embel saja,
atau dijadikan kambing hitam. Namun jika terjadi pergolakan
di masyarakat, melainkan dijadikan
salah satu prioritas
utama untuk membangun
bangsa karena integrasi bangsa bertumpu pada persoalan kebudayaan; (4)
kalau multikulturalisme didefenisikan
sebagai “sejumlah kebudayaan yang
hidup berdampingan, dan seyogianya mengembangkan cara pandang yang mengakui dan
menghargai keberadaan kebudayaan satu sama lain”. (5) perubahan dari cara
berpikir pluralisme ke multikulturalisme dalam memandang Pancasila adalah
perubahan kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai dasar yang tidak mudah
diwujudkan, maka diperlukan dua persyaratan yaitu: (1) kita harus mempunyai
pemahaman yang mendalam mengenai model
multikulturalisme yang sesuai
dengan kondisi bangsa Indonesia; (2)
kebijakan itu harus berjangka panjang,
konsisten, dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung (http: //www. setneg.go.id /index.php?
option=com_content
&task=view&id=1659&Itemid=192
diakses tgl 19-05-2012). Kemudian Azyumardi
Azra dan Komaruddin Hidayat ( 2008: 23) mengemukakan
bawa konsep masyarakat multikultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi
di Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat menjadi social capital
bagi pengembangan masyarakat multikultural di Indonesia.
3. Pengembangan Pendidikan Multikultral
dalam KTSP
Model
penyelenggaraan pendidikan multikultur di sekolah dapat dilakukan dengan cara
terintegrasi dalam mata pelajaran pada kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultur secara jelas terlihat
dalam silabus dan RPP. Melalui cara itu, maka akan terimplementasikan dalam
kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas secara kontekstual.
Selain itu, pendidikan multikultur juga
bukan mata pelajaran
terpisah sehingga harus terintegrasi dan bukan merupakan pengetahuan
yang bersifat kognitif sehingga materi
seyogyanya dikemas dalam
bentuk afektif dan
kinerja siswa serta pendekatan materinya dapat bersifat
tematis. Pusat Kurikulum Depdiknas ( 2007: 25) telah
dijelaskan penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultur harus
dilakukan dan terlihat dalam aktivitas seluruh warga sekolah maupun dalam
manajemen sekolah secara umum.
Penjelasan dari kurikulum
tersebut, merupakan salah satu harapan dalam pencapaian mutu pendidikan di
Indonesia.
Sehubungan dengan kurikulum tersebut
Soedijarto,
(2008: 145) menguraikan bahwa
walaupun kurikulum merupakan hasil suatu
proses yang dilakukan secara sistematik, ilmiah dan professional, dampaknya
terhadap ketercapaian tujuan pendidikan akan bergantung pada jenis dan kualitas
proses pembelajaran, yang merupakan terjemahan dari kurikulum yang telah
ditetapkan.
Oleh karena itu, konten pembelajaran disesuaikan
dengan kebutuhan mendasar dan efektif di terapkan pada peserta didik. Muhaemin el-Ma'hady
mengemukakan bahwa dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural
yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan,yaitu:
(1) pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan
kebudayaan atau
multikulturalisme;
(2) pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; (3)pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; (4)
pendidikan dwi-budaya. (5) pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia
(Muhaemin el-Ma'hady.
Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural.
Dalam
http://artikelpendidikan.net diakses tgl 30-04- 2012).
Hal-hal
yang patut dikembangkan dalam menentukan model multikulruralisme di
Indonesia yaitu dengan keanekaragaman etnik,
budaya, agama, ekonomi, sosial,
dan gender. Selain
itu, dari segi
geografis wilayah Indonesia memiliki
keunikan tersendiri karena
wilayah dan pulaunya yang terpencar-pencar dan bervariasi, yang berbeda
dengan kondisinya dengan negara lain.
Dengan pendekatan multikultural
ini, fenomena negatif
yang ada di masyarakat seperti deskriminasi,
stereotip, dominasi, ketidakadilan, ketimpangan dan prasangka buruk dapat
dikurangi, sehingga masyarakat yang berkeadilan, berkeselarasan, berkemitraan
dan bertoleransi dapat segera terwujud.
Ngainun Naim dan
Achmad Sauki menjelaskan bahwa dalam pengembangannya, kurikulum dengan menggunakan pendekatan mutikultural haruslah
didasarkan pada prinsip: (1) keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan
filsafat, teori, model, dan hubungan sekolah dengan lingkungan sosial
budaya setempat; (2) keragaman
budaya menjadi dasar dalam pengembangan berbagai komponenen
kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi; (3) budaya di
lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus
dijadikan bagian dari kegiatan belajar anak didik; (4) kurikulum beperan
sebagai media dalam
mengembangkan kebudayaan daerah
dan kebudayaan nasional (Ngainun Naim dan Achmad Sauki
2008: 198). Telah dijelaskan pula pada
Pusat kurikulum bahwa
ada beberapa tahapan yang diperhatikan dalam pengembangan kurikulum berbasis pendidikan multicultural
(Pusat Kurikulum Depdiknas
2007: 23 ) . yakni:
1.
Merumuskan visi, misi, tujuan sekolah,
dan pengembangan
diri yang
mencerminkan
kurikulum sekolah
yang berbasis multikultur.
2. Mengkaji
standar
kompetensi dan
kompetensi dasar yang
bermuatan multikultur dengan memperhatikan hal-hal berikut: (1)
urgensi
dengan kehidupan
peserta
didik yang berhubungan
dengan multikultur; (2) keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran lain yang memuat multikultur; (3)
relevansi
dengan kebutuhan peserta didik dalam
masyarakat
yang
multikultur;
(4) keterpakaian atau kebermaknaan bagi peserta didik dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari.
3. Mengidentifikasi materi pembelajaran yang bermuatan multikultur dengan mempertimbangkan: (1) keberagaman
pesertadidik; (2) karakteristik mata pelajaran; (3) relevansi dengan
karakteristik daerah; (4) tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan pritual peserta didik; (5) kebermanfaatan bagi peserta didik; (6)
aktualitas materi pembelajaran; (7) relevansi dengan kebutuhan peserta didik
dan tuntutan lingkungan.
4.Mengembangkan
kegiatan pembelajaran yang bermuatan
multikultur.Kegiatan pembelajaran dirancang untuk
memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan
fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru,
lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi
dasar. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud dapat terwujud
melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran inkuiri dan berpusat pada peserta didik dengan
menerapkan beberapa metode yang relevan.
5.
Merumuskan indikator pencapaian kompetensi
yang bermuatan multikultur. Indikator yang bermuatan multikultur merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang
ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap, pengetahuan
dan keterampilan yang bermuatan multikultur. Indikator dikembangkan
sesuai dengan karakteristik
peserta didik, mata pelajaran,
satuan pendidikan, lingkungan dan potensi daerah yang dirumuskan dalam kata
kerja operasional yang
terukur dan dapat
diobservasi.
6. Penentuan jenis penilaian yang bermuatan
multikultur. Penilaian dilakukan dengan
menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan
kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan
produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
7.
Menentukan
sumber belajar yang bermuatan multikultur. Sumber
belajar adalah rujukan, objek dan bahan yang bermuatan multikultur digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak
dan
elektronik, nara sumber, lingkungan fisik, sosial, dan budaya.